Sabtu, 17 Januari 2009

Kau suruh aku

Kau suruh aku menjaga quranmu
Lalu kubersihkan
Kusimpan dalam almari yang tinggi

Kau suruh aku mengaji petang dan pagi
Lalu kubaca semua kabar yang basi

Kau suruh aku menyimak nyanyian kalammu
Lalu aku menguping tetanggaku

Kau suruh aku memuja dirimu…
Lalu kupuja semua material sekelilingku

Kau suruh aku membuka pintumu
Namun aku kunci pintuku

Kau suruh aku membangun surgamu
Namun aku tak tahu bagaimana cara membangunnya


Kolam sayur

Namanya kolam susu
Kata si nyanyi-nyanyi

Setiap getah pohon tebang

Bukan sayur bukan lumut
Namanya tumbuh di kayu lapuk
Hujan atau kemarau
Biji batu kering
Menyerap tunas-tunas muda
Dan sekali menancap
Menyerap lama-lama



Nyanyian gurun

Bulan ramadhan setengah tiang
Berkibar cahaya jernih
Menerangi lampor bola nabi

Awan menutup menyigarkan bulan
Padang nabi pecah dua bagian
Porosnya setelah dibelah
Melingkari garis objek
Galaksi. Tergaris dengan galaksi lain
Alam haru biru , bulan sang nabi
Terang tiada rintik , embun malam hari
Inilah malam fajar
Di ufuk mega berbaringan
Ratna Alaska
Aurora hijau gemilang
Abadi menyilet cahaya langit surya
Menampa silauan hijau permata
Tampaan sinar gemilang
Sabda nabi sang raya
Puji-pujian ala kadarnya
Menyeruak rona emas
Berwarna merah keperakan

Langit berlobang dengan ketujuh
Lapisan atmosfir bumi
Lapis-lapis bidang bumi
Dua jurang indera
Melewati kapiler enzim
Pembau pembuluh otak
Redup-redupan sinyal
Tertahan
Di bulan menetap sebagai
Tasbih kenikmatan
Dari koneksi tuhan dan nabi

Ratus ribuan bermunajat
Merangkak solawat cinta
Naik ke atas kepulan asap
Tinggi kian kemari

Berputar menasbih
Butiran mutiara sulam
Teruntuk sang cahya ramadhan
Abadi di tengah henti tiang
Padang cinta sinar serunai seruling
Tiupannya menembus
Pasir bergunduk sahara
Samudra gempita sunyi
Terhambur debu desir cinta
Di dalam saringan ilalang rerumputan onta
Hening kering panas bumi
Semasa ayat mencumbu inti gurun
Panas semakin solawat menyejukkan
Turun sebutir hijau
Salju menyerap kuat , hilang tak tertandaskan lagi

Alun-alunan nyanyian terompet
Gong bonong , gitar perkusi
Perambatan nada ilalang mendesir
Rerumputan kuning
Dan salju hijau putih
Turun keliling , terbang
Di mata air wadi di bawah menjulang
Kurma hitam, semanis menjilat
Heksagonal rumah madu
Sang datang nabi ummi
Mensarikan lagu-lagu ayat
Deburan angin malam
Turun dan lagi turun
Selagi tiang menjadi tengah
Bendera ramadhan padang cinta


Sepertiga malam

Kurundukkan kepalaku pada tanah
Kupacul lantai sajadah
Dengan lantai dahi sirah
Kuluruskan bungkuk punggung ini
pada kiblat punya arah

kuintip mata celah kitab 1-2
kuuntai hamdalah
beratus saya punya

malam-malam, sepertiga
sisa terakhir
engkau tak diundang - begitu datang
aku mendo’a
supaya orang-orang mendo’akan do’a saya
supaya jangkrik mengerik
berdzikir dengan gesekan air semak

aku peluk wudhu’ malam
sepertiga sisa yang akhir
supaya akhir-akhir sisa
menyisakan sedikit sisa
untuk do’aku yang terlalu biasa
minta rizki , afiat , umur panjang
dan ilmu berlimpah
padahal selebihnya
aku mendo’a
supaya semua orang memdo’akan do’a saya
dan di setiap atas panjang
di setiap tasbih yang diuntainya

aku mendo’a
bukan kerik-kerik jangkrik saja
yang mengerik dzikir-dzikir suci
pada sang empunya
yang sepertiga malam
yang turun ke bumi , yang tidak
diundang sama sekali


panca karma

keuangan yang maha esa

kebendaan yang ikut kita sembah
glamoristik dan materialistik
sejak rupiah menguasai semua
birokrasi dan kapitalisasi

penindasan pada manusia yang kejam dan biadab

kerena kita membeli nyawa
menjual kembali di pasar turi Surabaya
tak laku lagi
kita obral serba murah

perpecahan Indonesia

karena kita selalu bertengkar ria
di dalam rumah tangga , antar warga
dan semua yang ada di atas-atasnya
berkurban demi dompet setebal rupiah

kerakyatan yang dipimpin oleh kebejatan dalam permusyawaratan kemiskinan

sebab rentenir menggilas kita
mengering sawah
dan membakar beras-beras berkarung adanya

kepedihan social bagi seluruh rakyat Indonesia

lengkap sudah kita hidup di surga
yang dulu air mengalir di bawahnya
dan permadani hijau kita tempati bersama


Penjara cinta

Tak tahan lagi
Sengketa jiwa ini
Panas menjilat
Membakar abu baranya

Larilah rusa…..
Peluk aku dalam rimba
Aku tak tahan lagi
Dengan gejolak jiwa ini
Larikan aku wahai rimba
Bersama rusa masuk ke belantara
Memeluk aku
Menyirami gejolak bara

Tenangkan aku
Dengan teduh dedaunan
Bisikkan aku nyanyian
Tembang belantara

Aku tak tahan lagi
Didekap penjara cinta
Aku ingin mengembara melepas belenggu jiwa
Siram ini dengan rimba
Kucur belantara
Air teduh kunanti sesampainya


Mahsyar

Padang mahsyar menurut cerita
Seluas bumi bertahta
Umat telanjang adanya
Mata tertunjuk kamera
Milik tuhan yang esa
Kuku tajam dari neraka
Mencakar pipi dan dada
Banjir keringat sepaha
Rombongan datang bersama
Dipangku bendera syafa’ah
Ada hitan kulit mukanya
Berbintilan akar sewajah
Juga putih kulit manusia
Disiram wudhu dulunya
Transaksi pahala
Dengan tuhan sang raja
Ditimbang amal dunia pilih surga atau neraka

Sabtu, 10 Januari 2009

Dari sekoper dolar

Dari hasil sekoper dollar
Dibeli sekarung beras
Berkembang –mengembang
Menghempas segala ganda yang arum
Masuklah pada anak binimu
Kelak sari menggapai putik
Dari darah hingga daging menggumpal

Biarkan akar-akar darah
Meresap pada semua sel-sel syaraf

Suatu nanti tertanya
Dari mana anak bini dan anak ubanmu..?
Dan
Janganlah bersalah
Jika didih air
Mendidihkan otakmu...!
Jilatan api
Dan timah emas
Mengecor sekoper dollarmu...!
Lalu apakah itu?
Koper-koper peninggalanmu
Emas perak yang tanam
Bersama kafan di liangmu

Apakah ini?
Cor-coran perak
Untuk anak cicitmu?

Antrian 200 juta cacah jiwa

Adi tidak mengira
Jika antrian
200 juta cacah jiwa
Masing-masing mengantri sebotol bensin
Jika itu untuk diminum
Pasti berlayar seperempat bumi ini

Adi tidak mengira
Jika masing-masing cacah
Tegap menderap
Bersusunan mengikuti alur sebotol bensin
Kalau dikalkulasi Belum tentu mengepuli usus-ususnya
Apalagi seujung jalan lapang
Hanya menguap debu
Dari 200 juta botol itu

Adi tidak mengira
Jika jama’ahnya pada shaf paling bawah
Menunggu sebotol bensin , sisa-sisa tumpahan
Dan berlebih dari itu
Sebotol lagi menurut adi
Akan terbang ke awan-awan
Menembus akar ozon
Membakar kaca-kaca di bumi
Kaca-kaca awan , kaca-kaca bensin
Tentunya kaca botol yang menanti adi
Di akhir peraduan

Untuk kesekian antrian
Adi dideret
Dengan sekian proyeksi
Manajemen birokrasi yang rumit
Telah membaris rapi
Botol-botol berisi penuh,
Penuh peluh , penuh empedu dan lain- lain

Lainnya dengan cahaya terik
Adi mengorek kotak korek
Paling tidak bisa menyedot semua tengik di lipat keringatnya
Yang mengucur basah
Masuk pada botol
Mengalir

Adi tidak mengira
Jika semua koreknya asyik berdendang
Menari bersama semua sekiannya
Adipun tidak mengira
Jika 200 juta koreknya
Menari bersama 200 juta botol bensin dan
200 juta cacah jiwa

logika pascal


Kau memang sengaja
Mengajari kami logika matematika
Logika pascal , tiga sisi pythagoras
Dan bidang miring 900(derajat)

Engkau memang sengaja
Menarik garis –garis pixel
Titik –titik terkumpul , berlingkar tanpa sudut
Membentuk lingkaran

Kau sengaja
Menekuk lingkaran bertelekan tiga sudut runcing
Yang berkoalisi rapi
Membangun segitiga

Kau memang sengaja
Mengotak–atik gambar bangun bidang
Diagonal dan menata secanggih mungkin
Agar empat sudut 900(derajat)
Bisa duduk bersila di ruang di ruang terbuka,
merencakan sebuah rencana
tentang nasib , bagaimana penggaris ini
dibengkokkan dari meter menjadi berkilo-kilo

kau memang sengaja
mengajari kami
sebuah permainan logika
implikasi - biimplikasi
possible – impossible
kolusi – inkolusi
dan cos sinus yang saling berkompromi

memang selamanya
pythagoras untuk segitiga
luas bidang empat , panjang kali lebar
kau selebihnya memang sengaja
merangkai rumus-rumus rumit
supaya koalisi sulit dipecahkan
dan rumus birokrasi sulit diselesaikan
walau memakai hitungan
bantuan kalkulator sekalipun

Perjanjian alam

Saat kemarau menggesang
Angin kumbang menghembusi semak ilalang
Daun ranting terpetak
Tergeletak
Bumi mengoyak surut keperihan
Tiada lagi kicauan burung cecamar
Hewan-hewan lelarian tiada arahan
Langit biru menabur hangus
Menghujani abu dan bebatuan hitam
Semakin keronta tanah beta
Yang nenek lalu menanamkan
Dengan susu yang terpencar
Diantara dulu tanpa penghianatan

Namun oleh perjanjian alam
Kita tulis sendiri di meja bundar persumpahan
Biar burung camar berlari menjadi saksi
Sebuah keputusan pada alam


PALESTIN YANG TAK BERTUAN

ketika harga nyawa lebih murah dari
ayam potong di pasaran
peluru dihujani langit pada bumi
asap menghirupi nafas terengah
itulah matahari memecah
gurun pasir bergunduk

tidak ada minyak melimpah
ataupun emas kuning bertambang di sana
hanya kerak panas
dan tandus ilalang semata
namun sejak kala nabi musa
ini tanah ditawar bersama
ditumpahi oleh darah
dibeli dengan rudal dan roket membara

begitu lembutkah
si izroil mencabut 400 orang
sedetik saja
dan betapa pilunya
kau robek jahitan luka
lalu kau tambal dengan kerikil dan pecahan kaca

lantas surga manakah yang akan kau pilih...?
sebagai tempatmu berteduh
padahal daunan pohon surga
adalah akar resapan darah-darah anak muda palestina

engkau tidak malu
membuta begitu saja
begitu tidak berhargakah?
daging panggang di jalan-jalan menuju gaza

mungkin juga
berapa lamakah kau menyewa kamar surga
yang bidadarinya adalah perempuan pelestina
dan pelayannya anak-anak tak berdosa

boleh saja kita paksakan tuhan
untuk memutuskan semua,
ini tanah
ini gaza
milik siapa...?
bunga kamboja di kuburan massal

dulu sudah kukembangi semua ,
bunga kamboja yang ku taburi
bersama kenanga di pusara
lewati sudah masa kembang yang putik
yang kehilangan ranting dan dahannya

aku sayat pada pohon merah
nama seluruh jiwa dan raga
kini tinggal gundukan tanah
terpatok akar daya , nisan -nisan tak bernyawa

dulu sudah ku kembangi semua ,
sebuah masa yang lewat seketika
entah ketika dulu bersemi bunga
aku akan memetik semuanya
agar ku siram sejumlah nama
korban-korban tak bersalah
dengan aku selipkan lembaran daun kamboja
bahwa kau nyawa akan tertebus dengan nyawa

Dosa

Demi bumi yang disumpahi dengan darah
Demi tanah yang ditawar dengan pedang
Dan kita membayarnya keringat ,
Tetesan darah dan air mata
Siapa lagi menggadaikan negri ini
Karena kelak , kulit dan belungan rangka kita
Akan disantap oleh cacing dan ular berbisa
Dari kafan yang putih suci itupun
Tidak cukup jadi pelindung
Remukan dua sisi lahat kita

Kita benar-benar terpanggang
Di atas loyang penyiksaan
Direbus oleh nanah dan darah
Dicabuti usus kita lalu diganti oleh grogotan
Piton merah
Tali rantai
Jus empedu yang dipaksakan kita meminumnya

Itulah kita terlalu bangga dengan dosa-dosa
Di semua lumbung kita mencicilnya
Hari perhari
Demi kita sendiri
Yang tak pernah sadar
Kita telah mengantongi sejumlah
Tabungan dosa


100 hari wafatnya nenek

Di teras sore yang senyap
Senja berselimut kabut putih
Duduk termenung kaku
Matanya berkunang
Mengais kenangan 50 tahun yang lalu
Hanya kursi bergoyang sendiri
Sebagai teman hingga petangnya

Mungkin apa terpikirkan olehnya
Pandangannya kosong ke depan
Berulang menyebut nama empunya
Atau 50 tahun yang lalu
Saat kenangan berputar berkala
Di setiap pagi dia lari
Lalu bersembunyi di bukit semak tinggi
Berderet bombardil
Telah merangkaikan kekangnya

Juga teringatkan
Pada hidup di 50 tahun yang lalu
Di keluarga kecil bersama ibunya
Di depan rumah yang masih sungai hulu
Di kebun yang masih berkelililng rumah
Batu-batuan terjal
Pohon kelapa menjulang kemana-mana
Hanya bukitan desa
Beberapa rumah terderet
Suara lesung mengayuh bersahutan
Angin meniup jangkrik
Burung emprit yang terus berjeritan
Dan malam damar lilin
Menyinarkan sinar kecilnya
Menerangi sebuah gubuk bambu
Untuk berkumpul sekeluarga penuh
Nyanyian hangat dan cengkrama seluruhnya
Kini telah terbujur kaku
Sendirian
Aku memegangi tangan bengkaknya
Menyelimuti kain tebal
Ke sekujur yang ronta
Tapi kian terlalu melepuhkan kulitnya
Lalu aku pergi satu bulan beberapa hari
Dan seorang telah menjemputku
Bahwa dia dipindahkan
Ke tempat yang lebih hangat , tenang
Dan kembali ke rumahnya dahulu
Bersama keluarganya di 50 tahun yang lalu
Semua ingatan memutar balik 50 tahun yang lalu
Kini tinggal album biru dikubur debu
Dan biarlah menjadi kenangan
Yang terselip di lubukku selama-lamanya


Lava yang marah

Alam mencoba merobekkan mulut kita
Juga merekahkan kemarahannya
Menumpahkan kesalnya
Melewati hentakan bumi yang keras
Asap yang mengepul membakar semua ranting
Yang tak mau bergoyang ,
Dan angin yang menghempas rumah kita ,
Memutar-mutar lalu meratakan dengan tanah

Sebab telah kita jeritkan tenangnya
Kita cabikkan kuku tajam yang paling ganas
Di bumi negri ini , untuk menggorok
Semua isi perutnya

Sampai akan memuntahkan
Siraman lava
Hujanan batu ke pundak kita
Dan kelud abu yang mengubur diri kita
Hidup-hidup

Proklamasi negara cinta

Atas nama negara cinta
Kami lunaskan
Semua hutang negri-negri
Pada hari ini
Di depan mikrofon elektronik
Ribuan kamera
Media cetak seluruh dunia

Saksikan semua penjaga langit…!
Malaikat-malaikat penjaga surga dan neraka
Saksikanlah suatu nanti
Aku menutup hutang dengan hutang lagi
Maka gantunglah aku sebagai gantungan kunci neraka

Dan suatu nanti
Aku menempel cap jempol
Pada kuitansi bertulis sepeser untuk menggadaikan negri ini
Maka tompoklah hidung klewarku
Demi negara-negara cinta
Agar haram seumurku
Menghirup wewangian surga

Bilapun aku mati
Kelak kuwariskan pada bayi-bayi lahir
1 milyar dollar,
Maka bunuhlah aku lebih dulu
Atas nama bayi- bayi 1 milyar itu

Bilapun cacing beronda
Di bawah terowongan
Kuburan pengapku
Maka nyanyikanlah
Bersama cacing-cacing tari
Agar mengobrak
Secarik jari
Meneken sejumlah kata-kata
Lunas...!